Lamongan, arekpantura.com – Insiden memalukan terjadi tepat di hadapan Bupati Lamongan Yuhronur Efendi beserta seluruh Forkompinda Lamongan. Pasalnya, Festival Adat Budaya Nusantara yang seyogyanya menjadi sarana untuk mempertontonkan keluhuran budaya lokal, justru diwarnai dengan adanya dugaan penganiayaan.
Suharjanto Widhiyatno alias Widhi (51), warga Perumahan Graha Indah Blok U No. 33 Lamongan, diduga dianiaya oleh Ainy Hidayat alias Dayat (54), warga Magersari Kelurahan Tumenggungan Kecamatan Kota Lamongan pada sabtu sore (18/10/25) saat adanya Festival Adat Budaya Nusantara yang di alun-alun kota setempat.
Peristiwa itu bermula saat widhi nekat menerobos area eksklusif yang diperuntukkan bagi tamu kehormatan dan raja-raja adat. Dengan dalih hendak mengantarkan pesan dari Mbah Saeran kepada pejabat daerah, ia bertindak di luar koridor yang telah ditetapkan panitia.
Tindakannya tidak hanya menyalahi aturan, tapi juga menunjukkan ketidakpekaan terhadap tata tertib dan tata krama dalam acara resmi kebudayaan. Namun, bukannya ditangani secara profesional oleh panitia atau petugas keamanan, muncul sosok Dayat, warga biasa yang bukan bagian dari struktur resmi acara.
Dalam situasi yang memanas, Dayat justru memilih menggunakan kekerasan fisik dengan melayangkan pukulan ke wajah Widhi.
Akibat kejadian tersebut, Widhi mengalami luka serius pada mulutnya hingga berdarah dan segera mendapatkan perawatan medis. Tak berhenti sampai disitu, dengan didampingi oleh Saeran dan sejumlah temannya, Widhi akhirnya secaraa resmi melaporkan perbuatan Dayat ke Polres Lamongan dengan Surat Tanda Terima Pelaporan Nomor: STTLP/B/322/X/2025/SPKT/POLRESLAMONGAN/POLDA JAWA TIMUR.
Kasi Humas Polres Lamongan, Ipda Hamzaid, membenarkan adanya dugaan penganiayaan yang melibatkan dua warga sipil tersebut. Menurutnya, akibat penganiayaan tersebut, korban mengalami luka robek pada bibir bagian atas dan bawah.
“Pihak kepolisian telah menerima laporan penganiayaan dan tengah melakukan penyelidikan berdasarkan Pasal 351 KUHP.” jelas Ipda Hamzaid, minggu (19/10/25).
Insiden ini memunculkan kekecewaan mendalam dari masyarakat. Yanto, salah satu penonton kirab, menyayangkan tindakan kedua belah pihak yang menurutnya sama-sama mencoreng nilai acara.
“Festival ini harusnya jadi ruang kita belajar menghargai perbedaan dan menjaga adat. Tapi malah ada yang bertindak semena-mena, seolah tak paham makna budaya itu sendiri,” ujarnya.
Nada serupa juga disampaikan Suwandi, penonton lain yang turut menyaksikan kericuhan.
“Apakah dua orang ini benar-benar tak paham bahwa mereka sedang berada di forum budaya. Apakah rasa hormat dan tenggang rasa kini sudah hilang sampai-sampai masalah sepele harus diselesaikan dengan kekerasan” tegasnya.
Festival yang mestinya menjadi simbol persatuan dan kebanggaan, justru ternoda oleh aksi kekanak-kanakan yang mengundang malu. Ketika nilai budaya hanya dijadikan formalitas dan panggung seremonial, maka tak heran jika tindakan tidak beradab bisa terjadi bahkan di tengah perayaan adat itu sendiri.
