SPBU 54.614.11 Diduga Abaikan Regulasi BPH Migas, Pengawasan Pertamina Diharapkan Lebih Ketat

Warga antri BBM di SPBU 54.614.11 Jombang

Jombang, arekpantura.com – Permasalahan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di Kabupaten Jombang tampaknya bukan semata-mata disebabkan oleh keterbatasan kuota, melainkan oleh lemahnya pengelolaan dan pengawasan di tingkat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Salah satu yang menjadi sorotan adalah SPBU 54.614.11, yang diduga tidak menjalankan ketentuan sebagaimana diatur oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Berry, aktivitas dari LSM Java Corruption Watch (JCW) menunjukkan bahwa pada jam-jam sibuk, SPBU tersebut masih melayani pengerit—pembeli dalam jumlah besar yang kerap menimbun dan menjual kembali BBM bersubsidi dengan harga lebih tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan antrean panjang, penurunan stok di jam kerja masyarakat, dan menimbulkan ketidakadilan bagi konsumen yang membeli BBM untuk kebutuhan sehari-hari.

Padahal, menurut aturan, pihak SPBU seharusnya mengutamakan pelayanan kepada konsumen langsung yang berhak, serta melakukan pembatasan terhadap pengerit agar distribusi BBM lebih tepat sasaran. Tidak adanya pembatasan tersebut justru menimbulkan kesan pembiaran terhadap praktik yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara.

“Situasi ini menunjukkan pentingnya pengawasan intensif dari BPH Migas, Pertamina, dan aparat penegak hukum (APH) untuk memastikan seluruh SPBU menjalankan aturan distribusi BBM bersubsidi secara transparan dan sesuai peruntukan,” ungkap Berry, kamis (13/11/25).

Selain itu, lanjut Berry, masyarakat juga menilai perlunya akses informasi kuota BBM secara digital dan terbuka, agar publik dapat mengetahui ketersediaan stok serta menghindari antrean panjang akibat distribusi yang tidak merata.

Regulasi sebenarnya sudah jelas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 55 menegaskan bahwa setiap pihak yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi dapat dikenakan hukuman penjara maksimal enam tahun serta denda hingga Rp60 miliar.

Sementara Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 mengatur bahwa hanya konsumen yang berhak sesuai peruntukan yang boleh membeli BBM bersubsidi, dan dilarang menjual kembali tanpa izin resmi.

“Dalam konteks hukum pidana umum, Pasal 480 KUHP juga bisa diterapkan bagi pihak yang memperjualbelikan kembali BBM hasil penyalahgunaan, karena termasuk dalam kategori tindak pidana penadahan,” imbuhnya.

Dengan dasar hukum yang tegas ini, masih menurut Berry, masyarakat mendesak agar Pertamina, BPH Migas, dan aparat penegak hukum segera melakukan inspeksi mendadak di lapangan dan memberikan sanksi terhadap SPBU yang terbukti melakukan pelanggaran.

“Apabila tidak ada klarifikasi atau langkah konkret dari pihak terkait, Kami akan melanjutkan laporan resmi ke PT Pertamina (Commerl Region Jatim di Jl. Jagir Wonokromo 88 Surabaya), BPH Migas, serta Polda Jawa Timur (Ditreskrimsus) sebagai bentuk pengawasan publik terhadap potensi pelanggaran distribusi BBM bersubsidi. “tandasnya.

Hingga berita ini diterbitkan, tim media masih berupaya melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait, baik pengelola SPBU 54.614.11 maupun instansi berwenang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *